SEJARAH KABUPATEN PASURUAN

Mengurai Sejarah Asal Usul Kabupaten Pasuruan Pra Sejarah Jaman prasejarah Indonesia ialah jaman semasa belum ada keterangan tertulis tentang Indonesia, baik yang ditulis oleh bangsa Indonesia sendiri maupun oleh bukan bangsa Indonesia. Sedangkan jaman setelah adanya keterangan tertulis disebut jaman sejarah. Waktu bermulanya jaman prasejarah Indonesia, ialah sejak adanya jenis manusia tertua di Indonesia, yaitu Meganthropus Paleo Javanicus, atau manusia besar dari Jawa jaman kuno yang peninggalannya ditemukan oleh Von Koningswald pada tahun 1941 M di desa Sangiran, lembah Bengawan Solo Jawa Timur. Kemudian disusul oleh Pithecanthropus Erectus atau manusia kera yang berjalan tegak, yang peninggalannya ditemukan oleh Eugene Dubois pada tahun 1890 M di desa Trinil, Jawa Timur . Masa hidupnya diperkirakan pada jaman Pleistosen kira-kira pada tahun 600.000 sebelum Masehi. Sedang berakhirnya jaman prasejarah Indonesia sejak adanya keterangan tertulis yaitu adanya Yupa-yupa di Kutai Kalimantan Timur yang bertuliskan huruf Pallawa berbahasa Sansekerta, yang diperkirakan berasal dari tahun 400 Masehi. Penghuni ini menurut penyelidikan Von Heine Geldern dan Prof. H. Kern yang berdasarkan pada perbandingan wilayah dan penyelidikan bahasa ternyata berasal dari daerah Yunnan di Cina Selatan. Penyebarannya ke Indonesia melalui dua jurusan. Jurusan barat melaui Indo Cina, Semenanjung, kemudian masuk ke Indonesia, yaitu ke Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Kalimantan. Sedang yang jurusan Timur melalui daratan Asia, ke Jepang, pulau-pulau Taiwan, Filipina, kemudian masuk ke Indonesia melalui Minahasa terus ke timur . Awal Mula Pemukiman di Pasuruan Setelah masa pra sejarah ini paling tidak pada sekitar abad 7 M wilayah Pasuruan telah menjadi tempat hunian masyarakat yang teratur atau berpemerintahan. Temuan fosil manusia di Trinil, Ngandong, Mojokerto menunjukkan bahwa Jawa sejak masa purba telah menjadi hunian manusia. Tetapi jika dipertanyakan kapan wilayah Pasuruan sebagai tempat hunian masyarakat, maka jawabannya harus histories. Sejarah memerlukan sumber tertulis yang berupa dokumen baik prasasti, piagam, naskah kesusastraan. Mengenai awal mula pemukiman di Pasuruan paling tidak ada dua jenis. Pertama, hunian awal (tentu saja dengan pemerintahannya) suatu tempat. Yang kedua ialah waktu adanya pemerintahan, misalnya hari jadi suatu kabupaten, hari jadi suatu kota. Penelusuran Sejarah Pasuruan yang terpaparkan dalam buku ini difokuskan pada jenis yang pertama yaitu tentang hari jadi hunian awal di Pasuruan. A. Sumber Prasasti Ada beberapa nama tempat yang disebut oleh prasasti dan dapat ditafsirkan dan sepadan dengan toponim masa sekarang, meskipun sering ucapannya sudah berubah. Ada 4 (empat) prasasti, dua diantaranya dikeluarkan oleh Mpu Sindok, yang berkaitan dengan toponim di wilayah Pasuruan ialah :
prasasti Gulunggulung,
prasasti Cunggrang,
angka tahun bergaya Kediri,
prasasti Pamintihan. 1. Prasasti Gulung-gulungUnsur-unsur penanggalan dari prasasti Gulung-gulung yang dikeluarkan oleh Raja Sindok sebagai berikut:
Swasti caka warsatita 851 baicaka masa tithi nawami cu klapaksa...
Artinya: Selamat tahun caka yang telah lalu 851 (bulan) Baicaka, tanggal 9 paro terang...
Ca wara purwaphalguninaksatra yani dewata ayusman yoga irika rakryan hujung pamaduraloka.
Artinya: (hari yang bersikles 7) Sabtu, perbintangan: Purwwaphalguni, dewanya; Yini, yoganya: Ayusman, ketika itu Rakryan Hujung pu Maduraloka.
Ranjana manambah I cri maharaja...
Artinya: Ranjana menghadap kepada cri Maharaja...Unsur-unsur penanggalan tahun caka itu dapat disepadankan dengan unsur-unsur penanggalan nasional (masehi). Unsur-unsur penanggalan itu bertepatan dengan tanggal 20-IV-929 M (20 April 929 M). Isi prasasti Gulung-gulung adalah penetapan perdikan sawah di desa Gulung-gulung dengan besar pajak 7 su .dan hutan di Bantaran untuk bangunan keagamaan di Himad. Disebut juga ada tanah perdikan khusus (disebut sima putraswa), di Batwan, di Curu, di Ergilang dan di Gapuk, masing-masing harus memberi pisunggung apabila di sang hyang prasada yang letaknya di Himad diadakan upacara, . ...muang hana sima putraswa I batwan muang i curu Artinya: Ada perdikan utraswa di Batwan dan di Curu. I yair gilang I gapuk I mbang paknaya mangasea I sang hyang prasada I himad Artinya : di Ergilang, di Gapuk, di mBang, perintahnya supaya memberikan pisungsung kepada Sang Hyang Prasada di Himad. Diantara nama-nama tempat itu Gapuk menarik perhatian karena ia di dalam buku Negarakertagama disebut berurutan dengan toponim yang ada di Pasuruan; Gapuk, Ganten, Poh, Capahan, Kalampitan, Lumbang (Nag. 20;1) Hai Sidomulto mengatakan Gapuk terletak di selatan Rejoso, jarak dari Winongan 4 km kearah barat laut. Jika pengidentifikasian itu benar, maka dapat dikatakan bahwa pada 20-IV-920M (atau sebelumnya) di Gapuk wilayah Pasuruhan telah ada hunian yang teratur, bahkan daerah itu telah menjadi daerah perdikan khusus. 2. Prasasti Cunggrang Sumber prasasti yang sangat penting untuk menelusuri hunian lebih lanjut di wilayah Pasuruhan ialah prasasti Cunggrang. Apalagi prasasti Cunggrang (prasasti batu) masih in situ atau ditempat semula yaitu di Desa Suci, Kab. Pasuruhan. Prasasti ini disebut prasasti Cunggrang I bertahun 851 C. Tulisan di sisi depan tinggal seperdua bagian atas, sedangkan di bagian bawahnya dan sisi belakang tulisannya sudah aus semua . Untung ada prasasti Cunggrang II, merupakan duplikat (tuladan) prasasti Cunggrang I. Sehingga kekurangan berita dari prasasti Cunggrang I dapat diisi oleh prasasti Cunggrang II . Unsur-unsur penanggalan prasasti Cunggrang sebagai berikut:
(Swasti caka) warsatita 851 asujimasa (tithi dwadaci cukla) paksa tu(ng), Pa, Cu (wara Satabbisanaksa) tra. Ba (runa dewata. Gandayoga irika di)wasa
Artinya: Selamat tahun caka yang telah lalu 851 bulan Asuji tanggal 12 bagian bulan terang (hari yang bersikles enam) atunglai, (hari yang bersikles lima) pahing, (hari yang bersikles tujuh) Selasa, naksastra; Satabhisa, dewata: Barona, yoga: Gandha pada saat itu.
ni ajna maharaja...
Artinya : Perintah Sri Maharaja ... Unsur-unsur penanggalan prasasti Cunggrang (I dan II) sepadan dengan penanggalan nasional ialah 18-IX-929M (18 September 929M) Desa Cunggrang termasuk wilayah Bawang di bawah pemerintahan Wahuta Wungkal dijadilan tanah perdikan untuk pertapaan di Pawitra dan prasada silunglung sang siddha dewata rakryan Bawang ayah rakryan binihaji sri prameswari dyah kbi. Tugas penduduk yang daerahnya dijadikan perdikan ialah memerlihara pertapaan dan prasada, juga memperbaiki bangunan pancuran di Pawitra. Dari isi prasasti itu, ada dua nama tempat yang perlu mendapat perhatian yaitu Cunggrang dan Pawitra. Mengingat prasasti Cunggrang I terbuat dari batu (berukuran relative besar dan berat) maka kemungkinan kecil bergeser jauh dari tempat semula. Oleh karena itu wilayah Cunggrang tentunya tidak jauh dari tempat prasasti ditemukan (di Desa Suci sekarang), Nama Cunggrang terdapat juga di dalam Nagarakertagama sebagai berikut: Warna I sah nira rin jajawa rin, padameyan ikan dinunun, Mande cungran apet kalanon numabas in wanadealnon Darmma karsyan I parcwanin acala pawitra inaran Ramya nika panunan, lurahlurah bhasa kbidun (Nag. 58) Artinya : Selesai berhenti di Jawi, meneruskan perjalanan ke Padameyan Istirahat di cunggrang untuk menikmati panorama desa dan hutan yang indah Pertapaan di lereng gunung Pawitra yang didatangi Keindahan lereng-lereng itu diikat dalam bhasa dan kidung Tentang Pademeyan dapat diidentifikasi dengan Kedamaian yang terletak di sebelah utara Kapulungan. Satu kilometer dari desa Kedamaian ditemukan reruntuhan bangunan candi desa Keboireng. Pawitra adalah sebagai dharma lepas karesyan (Nag.78:1). Dari segi linguis pawitra (bhs Sansekerta) berarti alat pembersih yang dapat menghilangkan kleca (cacat, dosa, noda), jadi yang mempunyai kekuatan untuk membersihkan atau mencapai sesuatu yang bersih, murni, bebas dari bahaya, keramat, suci atau kudus. Pawitra memang terkenal sebagai nama lama Gunung Penanggungan. Di Pawitra terdapat bangunan pertapaan (sang hyang dharmmacrama ing pawitra) bangunan pemandian (sang hyang tirtha panenran ing pawitra).3. Prasasti PaminthihanPrasasti Paminthihan yang dikeluarkan oleh Sri Maharaja Dyah Suraprabhawa tahun 1395 C sepadan dengan 14 - V - 1473 (14 April 1473) menyebut pangasta desa (delapan desa tepi siring) perdikan Paminthihan. Delapan nama desa dari unsure (mengikuti jarum jam) ialah : Plangpuncu, Gegidah, Dampak, Madawih, Gempol, Balanger, dan Kalaban. Meskipun belum banyak data yang mendukungnya kiranya Gempol yang disebut Prasasti Paminthihan sama dengan Gempol masa sekarang. Survey Balai Arkeologi Jogjakarta tanggal 14 Nopember 2001 menemukan sebuah prasasti pendek di dukuh Pakan, Kel. Jembrung. Kec. Gempol, Kab. Pasuruan. Tulisan dipahat secara timbul, merupakan angka tahun bergaya quadrat (gaya tulisan Kediri), terbaca 957 C=1035M.B. Sumber NegarakertagamaPada abad XIV M, Pasuruan telah merupakan hunian padat penduduk tersebar di beberapa desa atau dusun (thani) dan telah berpemerintahan secara teratur. Raja Hayam Wuruk ketika mengadakan perjalanan mengunjungi wilayahnya dua kali melewati Pasuruan. Waktu berangkat akan menuju Lumajang, Hayam Wuruk mengunjungi Gapuk, Ganten, Poh, Capakan, Kalampitan, Umbang, Kuran, We Petang, Pancar, Mungguh, Tunggalis dan Pabayeman . Diantara nama tempat sebagian sudah dapat diidentifikasi. Hadimulyono dalam tulisan lepas mengidentifikasi nama-nama tempat itu adalah: Gapuk : Dusun Gapuk terletak di selatan Rejoso, jarak dari Winongan 4 km ke arah barat laut. Poh : Rapoh (?) terletak 1.5 km kearah barat daya dari Winongan, Papoh (?) terletak 5 km kearah barat daya dari Winongan. Capahan : Pemandian kuno di Banyubiru dari Winongan 2 km ke arah tenggara. Kuran : Kurban (?) terletak 1.5 km kearah barat laut Winongan. Lumbang : terletak di dekat Winongan, 9 km kearah barat daya Tunggalis :Tenggilisrejo, 4 km kearah barat Winongan. Waktu pulang dari Lumajang, Hayam Wuruk setelah meninggalkan Baremi masuk Pasuruhan mengarah ke selatan menuju Kapulungan, Kapanan, Andoh, Wawang, Kedung Pluk dan Hambal. Sedangkan Prapanca memisahkan diri dari rombongan menuju Darbaru .Nama Pasuruan Kita mengetahui bahwa semua barang baik yang bersifat konkrit maupun bersifat abstrak selalu diberi nama, dalam hal ini termasuk tempat hunian maupun tempat yang tidak dihuni (dusun,desa,hutan,dst) Banyak cara orang memberi nama pada suatu tempat, ada yang diambilkan dari unsur nama tumbuh-tumbuhan (flora) misalnya: Pohjentrek, Pasuruan, Puspo, Kepuhrejo. Ada yang diambilkan dari unsur binatang (fauna) misalnya: Keboireng, Gununggangsir. Ada pula yang diambilkan dari unsur alam, harapan, maupun unsur kepercayaan misalnya: Wonorejo, Banyubiru, Ngerong, Sukorejo, Suci, Pawitra. Setiap nama tentu mempunyai makna, paling tidak nama mempunyai dua makna yaitu Makna Tanda dan Makna Simbolis. Karena setiap tempat diberi nama, maka akan mudah membedakan antara tempat yang satu dengan yang lainnya. Dapat dibayangkan bagaimana rancunya jika setiap tempat tidak diberi nama sebagai tanda. Kecuali nama sebagai tanda, nama juga mengandung makna simbolis. Makna simbolis pada nama dapat dikaitkan dengan sejarah (historis) misalnya: Purwodadi, Rejoso, Purwosari. Atau dikaitkan dengan harapan tertentu misalnya: Sukorejo, Wonorejo, Kejayan. Makna simbolis dapat dihubungkan dengan kepercayaan misalnya: Sang Hyang Dammapartapan I pawitra, Sang Hyang Tirtha Pancuran Pawitra. Pasuruan sebagai nama tempat hunian masyarakat dikenal pertama kali dan secara tertulis disebut dalam buku Nagara Kertagama. Tahun I daton nire pasuruhan manimpan anidul ri kapananan, anulya atut damargga madulur tikan ratha daton rin andoh wawan, muah I keduplukh lawan I hambal antya nikan pradecenitun,... Artinya: Sungguh setelah sampai di Pasuruan, ia membelok kearah selatan Kapananan, kemudian mengikuti jalan utama semua kereta bersama-sama memasuki Andoh Wawang dan Hambal, semua desa (yang dikunjungi) selalu diperhatikan. Dalam buku tulisan orang Belanda karena dialek dan ejaan tulisannya maka Pasuruan ditulis Passourrouang, Pasoeroeang atau Pasoeroean. Sekarang dari kata apa atau mengapa tempat ini diberi nama Pasuruan. Dari segi kebahasaan (linguistik) kata Pasuruan dapat diurai menjadi pa - suruh - an artinya tempat tumbuh tanaman suruh atau kumpulan daun suruh. Suruh (bahasa Jawa baru) atau sirih (bahasa Indonesia) bahasa Jawa kunonya sereh . Mengunyah sirih sangat terkenal di Nusantara, dilakukan baik laki-laki maupun perempuan. Memang sekarang tradisi mengunyah sirih bagi kaum muda sudah jarang dilakukan, tetapi bagi kaum tua di pedesaan masih banyak yang mengunyah sirih. Mengunyah sirih mempunyai makna simbolis yaitu persaudaraan dalam interaksi sosial. Sehingga pada waktu dulu jika kedatangan tamu tentu disambut dengan puan berisi sirih lengkap dengan kapur, gambir, dan buah pinangnya. Sampai sekarang sirih masih dipergunakan pada saat panggih temanten sebagai sadak (lempar-lemparan sirih yang dilakukan mempelai pria dan wanita). Demikian terkenalnya daun sirih di Nusantara baik masa lalu maupun sekarang. Sereh dapat juga berarti perintah, dalam kesusastraan Jawa Kuno itu sering dipergunakan . Jadi arti sereh sepadan dengan arti suruh dalam bahasa Melayu atau Indonesia. Yang jadi masalah ialah apakah pada masa itu (abad 10 M) bahasa Melayu kuno telah berkembang di pulau Jawa. 7 bahasa Melayu kuno terkenal di Sumatera (prasasti-prasasti dari kerajaan Sriwijaya). Di Jawa pun ternyata ditemukan beberapa prasasti berbahasa Melayu kuno yaitu prasasti Payaman (ditemukan di Bukateja Purbalingga, Jawa Tengah), Prasasti Dewa Drabya (ditemukan di Dieng), prasasti Manjuarigreha 714 C = 2-XI-792 (di Candi Sewu). Di wilayah Selendra, prasasti Sanghyang Wintang (Gandasuli II) dan prasasti Dang pu Hawang Glis (Gandasuli I) 749 C = 2-XI-792 M. Dari beberapa prasasti yang berbahasa Melayu yang bermasa sekitar abad VIII - IX M, jelas bahwa bahasa Melayu kuno berkembang sampai Pilipina Selatan (prasasti 822 C = 900M) Dari kenyataan demikian. Maka dapat disimpulkan bahwa sereh yang berarti perintah (Jawa kuno) sepadan dengan arti suruh (bahasa Melayu kuno, Indonesia). Jadi Paserehan atau Pasuruhan adalah tempat perintah atau pemerintahan, yaitu pemerintahan yang melingkupi wilayah Pasuruhan. Pada konteks yang lain sejarah Kabupaten Pasuruan memang sangat unik dari segi nama Pasuruan disebut-sebut dalam kitab Negarakertagama, Babad Tanah Jawi dan Babad Giyanti dengan kata Pasuruhan dan Kakawin Sorandaka menyebutkan ada nama Sora yang daerahnya disebut dalam kitab tersebut disebut dengan Pasoraan yang berbatasan dengan daerah yang bernama Japan dan memiliki Syah Bandar yang bernama Banger (dalam catatan Tiongkok disebut Bang-il), oleh Belanda merujuk sebuah buku yaitu Beknopte Encyclopedie Van Nedelansch-Indie buah karya T.J. Bezemer, 1921 disebut dengan Pasoeroean. Secara umum kita mengetahui bahwa rangkaian lintasan sejarah di Indonesia berjalan dari satu masa ke masa berikutnya dengan penuh dinamika demikian halnya Pasuruan. Dalam berbagai sumber disebutkan banyak daerah yang kini masuk dalam wilayah Kabupaten Pasuruan menjadi saksi sejarah pada zamannya, hal ini menunjukkan eksistensi Pasuruan sebagai daerah penting pada masa itu sebagai contoh adalah disebutkannya beberapa daerah.Pandakan atau Pandaan Pandakan berasal dari kata paundak-undakan merupakan daerah yang bertebing, merupakan daerah yang terkenal sejak dahulu sebagaimana dipetik dari Terjemahan K.J. Padmapuspita (Jogjakarta, Taman Siswa, 1966) hal 70-79. Sebagai berikut, ...Sri Ranggawuni meninggalkan seorang anak laki-laki, bernama Sri Kertanegara; Mahisa-Cempaka meninggalkan seorang anak laki-laki juga, bernama Raden Wijaya. Kertenegara menjadi raja, bernama Batara Siwabudha. Adalah seorang hambanya, keturunan orang tertua di Nangka (Nangkajajar), bernama Banyak-Wide, diberi sebutan Arya Wiraraja, rupa-rupanya tidak dipercaya, dijauhkan, disuruh menjadi adipati di Sungeneb, bertempat-tinggal di Madura sebelah timur. Ada patihnya, pada waktu ia baru saja naik ke atas tahta kerajaan, bernama Empu Raganata ini selalu memberi nasehat untuk keselamatan raja, ia tidak dihiraukan oleh Sri Kertanegara; karenanya itu Mpu Raganata meletakkan jabatan tidak lagi menjadi patih, diganti oleh Kebo Tengah sang A Panji Aragani. Mpu Raganata lalu menjadi adyaksa di Tumapel. Sri Kertanegara pada waktu memerintah, melenyapkan seorang kelana (musafir) bernama Baya. Sesudah kelana itu mati, ia memberi perintah kepada hamba rakyatnya, untuk pergi menyerang Melayu. Apanji Aragani menghantarkan, sampai di Tuban ia kembali, datangnya di Tumapel sang A Panji Aragani mempersembahkan makanan berhari-hari; raja Kertanegara bersenang-senang. Ada perselisihan dengan raja Jayakatong, raja di Daha; ini menjadi musuh raja Kertanegara; karena lengah terhadap usaha musuh yang sedang mencari kesempatan dan waktu tepat, ia tidak memikir kesalahannya. Banyak Wide berumur empat puluh tahun pada peristiwa penyerangan Melayu itu; ia berteman dengan raja Jayakatong; Banyak Wide yang bergelar Arya Wiraraja itu dari Madura mengadakan hubungan dan berkirim utusan. Demikian juga raja Jayakatong berkirim utusan ke Madura. Wiraraja berkirim surat kepada raja Jayakatong, bunyi surat; "Tuanku, patih baginda bersembah kepada paduka raja, jika paduka raja bermaksud berburu ditanah lapang lama, hendaknyalah paduka raja sekarang pergi berburu, karena ini adalah kesempatan yang baik sekali, tak ada bahaya, tak ada harimau, tak ada banteng, dan ularnya, durinya; ada harimau, tetapi tak bergigi". Patih tua Raganata itu yang dinamakan harimau tidak bergigi, karena sudah tua. Sekarang raja Jayakatong berangkat menyerang Tumapel. Tentaranya yang datang dari sebelah utara Tumapel terdiri dari orang-orang yang tidak baik, bendera dan bunyi-bunyian penuh, rusaklah daerah sebelah utara Tumapel, mereka yang melawan banyak yang menderita luka. Tentara Daha yang melalui jalan utara itu berhenti di Memeling. Batara Siwa-Buda senantiasa minum-minuman keras diberitahu, bahwa diserang dari Daha, ia tidak percaya, selalu mengucapkan kata: "Bagaimana dapat raja Jayakatong demikian terhadap kami, bukankah ia telah baik dengan kami" Setelah orang membawa yang menderita luka, barulah ia percaya. Sekarang Raden Wijaya ditunjuk untuk berperang melawan tentara yang datang dari sebelah utara Tumapel, disertai oleh para arya terkemuka: Banyakkapuk, Ranggalawe, Pedang, Sora, Dangdi, Gadjahpagon, anak Wiraraja yang bernama Nambi, Peteng dan Wirot, semua itu prajurit baik, melawan tentara Daha di bagian utara, serentak mengamuk, bersama-sama, terpaksa larilah orang-orang Daha yang melalui utara itu, dikejar dan diburu oleh Raden Wijaya. Kemudian turunlah tentara besar dari Daha yang datang dari tepi Sungai Aksa, menuju ke Lawor; mereka ini tak diperbolehkan membikin gaduh, tidak membawa bendera, apalagi bunyi-bunyian, sedatangnya di Sidabawana langsung menuju Singasari. Yang menjadi prajurit utama dari tentara Daha sebelah selatan ini, ialah: Patih Daha Kebomundarang, Pudot, dan Bowong. Ketika Batara Siwa-Buda sedang minum-minuman keras bersama-sama dengan patih, maka pada waktu itu ia dikalahkan, semua gugur; Kebotengah yang melakukan pembalasan, meninggal di Manguntur. Raden Wijaya yang diceriterakan ke utara tersebut, diberitahu bahwa Batara Siwa-Budha wafat karena tentara Daha turun dari selatan, patih tua juga telah gugur, semua mengikuti jejak batara. Segera Raden Wijaya kembali, beserta hamba-hambanya, berlari-lari ke Tumapel, melakukan pembalasan, tidak berhasil, bahkan terbalik, dikejar diburu oleh Kebomundarang; Raden Wijaya naik ke atas, mengungsi di sawah miring, maksud Kebo-mundarang akan menusuknya dengan tombak, Raden Wijaya menyepak tanah bekas ditenggala, dada Kebomundarang sampai mukanya penuh lumpur, ia mundur, sambil berkata; "Aduh, memang sungguh dewalah tuanku ini." Sekarang Raden Wijaya membagi-bagi cawat dari kain ikat berwarna merah, diberikan kepada hamba-hambanya, masing-masing orang mendapat sehelai, ia bertekad untuk mengamuk. Yang mendapat bagian ialah Sora, Ranggalawe, Pedang, Dangdi, dan Gadjah. Sora segera menyerang, banyak orang Daha yang mati. Kata Sora: "Sekarang ini, tuan, hendaknyalah menyerang, sekarang baik kesempatan dan saatnya. " Raden Wijaya lekas-lekas menyerang, semakin banyak orang Daha yang mati, mereka lalu mundur, diliputi malam, akhirnya berkubu. Pada waktu sunyi orang telah tidur, dikejar dan diamuk lagi oleh Raden Wijaya, sekarang orang-orang Daha bubar, banyak yang tertusuk oleh tombak temannya sendiri, repotlah orang-orang Daha itu larinya. Batara Siwa-Budha mempunyai dua orang anak perempuan, mereka ini akan dikawinkan dengan Raden Wijaya; demikianlah maksud Batara Siwa-Budha itu; kedua-duanya ditawan oleh orang Daha; puteri yang muda berpisah dengan puteri yang tua, tidak menjadi satu arah larinya, berhubung dengan kerepotan orang-orang Daha, disebabkan Raden Wijaya mengamuk itu. Pada waktu malam tampak api unggun orang Daha bernyala dan besar nyalanya. Didapatilah puteri yang tua disana, kelihatan oleh Raden Wijaya, yang segera dikenal, bahwa itu adalah puteri yang tua. Lekas-lekas diambil oleh Raden Wijaya, lalu berkata; "Nah Sora, marilah mendesak mengamuk lagi, agar dapat bertemu dengan puteri muda." Sora berkata: " Janganlah tuan, bukankah adik tuan yang tua sudah tuan temukan, berapakah jumlah hamba tuanku sekarang ini." Jawab Raden Wijaya." Justeru karena itu". Maka Sora berkata lagi: "Lebih baik tuanku mundur saja, karena kalau memaksa mengamuk, seandainya berhasil, itu baik; kalau adik tuanku yang mudah dapat ditemukan, kalau tidak dapat ditemukan, kita akan seperti anai-anai menyentuh pelita. "Sekarang mereka mundur, puteri bangsawan didukung, semalam-malaman mereka berjalan ke utara, keesokan harinya dikejar oleh orang Daha, terkejar disebelah selatan Talaga-pager (Ranu Grati). Orang-orangnya ganti-berganti tinggal dibelakang, untuk berperang menghentikan orang Daha. Gadjahpagon kena tombak tembus pahanya, tetapi masih dapat berjalan. Kata Raden Wijaya: "Gadjahpagon, masih dapatkah kamu berjalan kalau tidak dapat, mari kita bersama-sama mengamuk. " Masih dapatlah hamba, tuanku, hanya saja hendaknya perlahan-lahan. "Orang-orang Daha tidak begitu giat mengejarnya, kamudian mereka kembali di Telaga-pager. Raden Wijaya masuk belukar seperti ayam hutan, dan hamba-hambanya yang mengiring semua, ganti-berganti mendukung puteri bangsawan. Akhirnya hamba-hambanya itu bermusyawarah, membicarakan tentang keadaan Raden Wijaya. Setelah putus pembicaraannya, semua bersama-sama berkata: "Tuanku, sembah hamba-hamba tuanku semua ini, bagaimana akhir tuanku ayng masuk belukar dan keluar belukar seperti ayam-hutan itu, pendapat hamba semua, lebih baik tuanku pergi ke Madura Timur; hendaknyalah tuanku mengungsi kepada Wiraraja, dengan pengharapan agar ia dapat dimintai bantuan, mustahil ia tidak menaruh belas kasihan, bukankah ia dapat menjadi besar itu karena ayah tuanku almarhum yang menjadi lantarannya." Kata Raden: "Itu baik, kalau ia menaruh belas kasihan, kalau tidak, saya akan sangat malu." Jawab Sora, Ranggalawe dan Nambi, serentak dengan suara bersama: "Bagaimana dapat Wiraraja melengos terhadap tuanku." Itulah sebabnya Raden Wijaya menurut kata-kata hambanya. Mereka keluar dari dalam hutan, datang di PANDAKAN, menuju ke orang tertua di pandakan, bernama Macan-kuping: "Raden Wijaya minta diberi kelapa muda, setelah diberi, lalu diminum airnya, ketiak dibelah, ternyata berisi nasi putih. Heranlah yang melihat itu. Kata orang: "Ajaib benar, memang belum pernah ada kelapa muda berisi nasi". Gadjahpagon tidak dapat berjalan lagi, kata Raden Wijaya: "Orang tertua di PANDAKAN, saya menitipkan satu rang; Gadjahpagon ini tak dapat berjalan, hendaknya ia tinggal di tempatmu," Kata orang PANDAKAN: "Aduh, tuanku, itu akan tidak baik kalau sampai terjadi Gadjahpagon didapati di sini, mustahil akan ada hamba yang menyetujui di PANDAKAN, kehendak hamba, biarlah ia berada di dalam pondok di hutan saja, di ladang tempat orang menyabit ilalang, di tengah-tengahnya setelah dibersihkan, dibuatkan sebuah dangau, sunyi, tak ada seorang hamba yang mengetahui, hamba di Pandakan nanti yang akan memberi makan tiap-tiap hari". Grati/Telaga Pager Di ujung timur tlatah Jawa Timur ini, yang merupakan gerbang antara laut dan pegunungan ke ujung timur Jawa, dikisahkan terjadi pabaratan antara orang Bali dan orang Jawa. Yang termasuk sejarah tlatah ini adalah kisah mengenai danau Grati yang sering dituturkan kembali pada kakawin Pararaton diatas dengan nama Telaga pager.Bangil/Banger/Bengal/Bang-il Menurut catatan Tiongkok ada kabar berita dari Raja Ta-Cheh (Mu'awiyah bin Abu Sofyan) mengirimkan utusan untuk menyelidiki kerajaan Kalingga (674/675M) yang mendarat di Syah Bandar yang bernama Banger/ Bang-il. Lalu dalam kakawin Harsawijaya dimana R. Wijaya berangkat ke pelabuhan Banger dekat Rembang yang menuju Sungeneb (Sumenep Madura).Japan/Japanan Japan atau Japanan dalam masa sekarang merupakan daerah yang strategis pada masa lalu, berikut cuplikan pada beberapa fakta sejarah, Nagarakertagama (1359 M) mencatat peristiwa perjalanan Raja Hayam Wuruk ke Lumajang dengan menyinggahi berbagai tempat di Jawa Timur. Waktu berangkat dari Majapahit disebutkan dalam syair 17 bait 7 baris satu dan dua kemudian syair 17 bait 10 baris I sebagai berikut: Ndan ring caka cacangka naga rawi bhadrapadamasa ri bambwa ning wulan, sang criajasanagara mahasahas ri Lumajang angitun sakhendriyan, tambening kahawan winnarna ri japan kuti-kuti hana sakrbah. Terjemahannya: Tahun C 1281 (1359 M) bulan Badrapa (Agustus / September) bulan paro terang mulai tampak. Baginda Rajasanagara mengadakan lawatan ke Lumajang, memperhatikan segala yang dilaluinya. Pertama yang disinggahi adalah Japan dengan asrama dan candi-candi dalam keadaan rusak. Dan waktu kembalinya dari perlawatan syair 58 bait 2 baris 3 menyebutkan: Praty amegil ri Japan nrpati pinapag ing balangghya datang, Artinya: Tiba diperistirahatan Japan, barisan tentara datang menjemput baginda. Dalam seri terjemahan Javanologi hasil kerjasama Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara dengan perwakilan Koninklijk Institut Voor Taal, Land, en Volkenkunde, de Graaf banyak mengutip penuturan sejarah di Jawa dari Babad Tanah Jawi dan lain-lain. Diantaranya yang menyangkut kawasan daerah Japan adalah sebagai berikut:Jaman Pemerintahan Panembahan Senopati Pada tahun 1589 M sudah terjadi pertempuran antara pasukan Mataram dan pasukan Surabaya. Raja-raja Jawa Timur dibawah pimpinan Pangeran Surabaya dan Senopati Mataram berhadapan muka di medan pertempuran dekat Japan 30.Jaman Pemerintahan Sultan Agung Turunkan serangan kedua dilakukan oleh Adipati Japan berakhir dengan kekalahan total bagi pihak sekutu (persekutuan raja-raja Jawa Timur). Adipati Japan gugur setelah mengadakan perlawanan kuat dan atas perintah Raja Mataram yang memuji atas kepahlawanannya, ia dimakamkan di Butuh di sebelah raja Pajang. Kematian dan pemakaman Adipati Japan pada Babad Tanah Jawi tertulis candra sengkala: Resi Guna Pancaning Rat (Orang bijaksana adalah kecerdasan lima dunia) yang berangka 7351 atau tahun Jawa 1537 atau 1615 Masehi 31. Mengenai pertempurannya sendiri, Jan Pz. Coen menulis pada 31 Maret 1616 M di Banten berdasarkan berita dari Jepara yang diterimanya pada 1 Pebruari 1616 M, menyatakan bahwa yang disebut Mataram dalam satu pertempuran telah menaklukan semua lawan, yaitu Raja-raja dari timur Jawa. Juga penentuan tanggal, berdasarkan keterangan bahwa surat tentang pertempuran ini bertanggal 1 Pebruari 1616 M, maka pertempuran tersebut tidak mungkin terjadi jauh lebih dahulu, jadi kira-kira bulan Januari 1616 M. Dalam hal ini keraguan sumber-sumber Jawa yang menyebut tahun 1615 M dan 1616 M dapat dimengerti sepenuhnya. Dalam tulisan SEKITAR JOGJAKARTA 1755M - 1825M, dinyatakan bahwa Japan dipandang dari sudut Ilmu Pemerintahan (Staat Skundig) tampak menduduki posisi kunci meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit. Diantaranya dinyatakan: Dengan

SEJARAH KABUPATEN JEMBER

Keberadaan Kabupaten Jember Secara Geografis :
Memiliki posisi yang sangat strategis dengan berbagai potensi sumber daya alam yang potensial,sehingga banyak menyimpan peristiwa-peristiwa sejarah yang menarik untuk digali dan dikaji.

Tentang nama Jember sendiri dan kapan wilayah ini diakui keberadaannya, hingga saat ini memang masih belum diperoleh kepastian fakta sejarahnya.

Berbagai upaya baik seminar maupun penelitian yang telah dilakukan oleh lembaga penelitian, Perguruan Tinggi maupun oleh sejarawan belum bisa mengungkap kejelasan yang pasti tentang kapan Kabupaten ini lahir.

Pemkab Jember masih memberi Kesempatan luas untuk menampung sumbangan pemikiran untuk dijadikan bahan kajian dalam menentukan fakta sejarah guna mengetahui kapan hari jadi Kabupaten Jember sebenarnya.

Hari jadi bagi suatu daerah sangatlah penting dan mendasar, karena menandai suatu awal pemerintahan sehingga dapat dijadikan ukuran waktu bagi daerah kapan mulai berpemerintahan.
Sementara ini untuk menentukan hari jadi Kabupaten Jember berpedoman pada sejarah pemerintahan kolonial Belanda, yaitu berdasarkan pada Staatsblad nomor 322 tanggal 9 Agustus 1928 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1929 sebagai dasar hukumnya.
Dalam Staatsblad 322 tersebut, dijelaskan bahwa Pemerintah Hindia Belanda telah mengeluarka ketentuan tentang penataan kembali pemerintahan desentralisasi di Wilayah Propinsi Jawa Timur, antara lain dengan REGENSCHAP DJEMBER sebagai masyarakat kesatuan hukum yang berdiri sendiri.

Secara resmi ketentuan tersebut diterbitkan oleh Sekretaris Umum Pemerintahan Hindia Belanda (De Aglemeene Secretaris) G.R. Erdbrink, pada tanggal 21 Agustus 1928.

Mempelajari konsideran Staatsblad Nomor 322 tersebut, diperoleh data yang menunjukkan bahwa Kabupaten Jember menjadi kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri dilandasi 2 macam pertimbangan, yaitu Pertimbangan Yuridis Konstitusional dan Pertimbangan Politis Sosiologi.

Yang unik adalah, Pemerintah Regenschap Djember diberi waktu itu dibebani pelunasan hutang-hutang berikut bunganya menyangkut tanggungan Regenschap Djember.

Dari artikel ini dapat dipahami bahwa dalam pengertian administratif serta sebutan regent atau Bupati sebagai Kepala Wilayah Kabupaten, diatur dalam artikel 7.

Demikian juga pemisahan secara tegas antara Jember dan Bondowoso sebagai bagian dari wilayah yang lebih besar, yaitu Besuki dijelaskan pada artikel 7 ini.

Pada ayat 2 dan 4 artikel 7 ini disebutkan bahwa ayat 2 artikel 121 Ordonasi Propinsi Jawa Timur :

Adalah landasan kekuatan bagi pembuatan Staatsblad tentang pembentukan Kabupaten-kabupaten di Jawa Timur. Semua ketentuan yang dijabarkan dalam staatsblad ini dinyatakan berlaku mulai tanggal 1 Januari 1929, ini disebutkan pada artikel terakhir dari staatsblad ini.

Hal inilah yang memberikan keyakinan kuat kepada kita bahwa secara hukum Kabupaten Jember dilahirkan pada tanggal 1 Januari 1929 dengan sebutan “REGENSCHAP DJEMBER”.

Sebagaimana lazimnya sebuah peraturan perundang-undangan, supaya semua orang mengetahui maka ketentuan penataan kembali pemerintahan desentralisasi Wilayah Kabupaten Jember yang pada waktu itu disebut regenschap, dimuat juga dalam Lembaran Negara Pemerintahan Hindia Belanda.

Selanjutnya perlu diketahui pula bahwa, Staatsblad nomor 322 tahun 1928 diatas ditetapkan di Cipanas oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda dengan Surat Keputusan Nomor : IX tertanggal 9 Agustus 1928.

Pada perkembangannya dijumpai perubahan-perubahan sebagai berikut : Pemerintah Regenschap Jember yang semula terbagi menjadi 7 Wilayah Distrik pada tanggal 1 Januari 1929 sejak berlakunya Staatsblad Nomor 46 tahun 1941 tanggal 1 Maret 1941 maka Wilayah Distrik dipecah-pecah menjadi 25 Onderdistrik, yaitu :
Distrik Jember, meliputi onderdistrik Jember, Wirolegi dan Arjasa ;

- Distrik Kalisat, meliputi onderdistrik Kalisat, Ledokombo, Sumberjambe dan Sukowono ;
- Distrik Rambipuji, meliputi onderdistrik Rambipuji, Panti, Mangli dan Jenggawah ;
- Distrik Mayang, meliputi onderdistrik Mayang, Silo, Mumbulsari dan Tempurejo ;
- Distrik Tanggul, meliputi onderdistrik Tanggul, Sumberbaru dan Bangsalsari ;
- Distrik Puger, meliputi onderdistrik Puger, Kencong, Gumukmas dan Umbulsari ;
- Distrik Wuluhan, meliputi onderdistrik Wuluhan, Ambulu dan Balung.

Perkembangan perekonomian begitu pesat, mengakibatkan timbulnya pusat-pusat perdagangan baru terutama perdagangan hasil-hasil pertanian, seperti padi, palawija dan lain-lain, sehingga bergeser pulalah pusat-pusat pemerintahan di tingkat distrik, seperti distrik Wuluhan ke Balung, sedangkan distrik Puger bergeser ke Kencong.

Berdasarkan Undang-undang Nomor : 12 Tahun 1950 tentang Pemerintah Daerah Kabupaten di Jawa Timur, menetapkan pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam lingkungan Propinsi Jawa Timur (dengan Perda) antara lain Daerah Kabupaten Jember ditetapkan menjadi Kabupaten Jember.

Dengan dasar Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1976, maka dibentuklah Wilayah Kota Jember dengan penataan wilayah-wilayah baru sebagai berikut :
Kecamatan Jember dihapus dan dibentuk 3 kecamatan baru, masing-masing Sumbersari, Patrang dan Kaliwates, sedang Kecamatan Wirolegi menjadi Kecamatan Pakusari dan Kecamatan Mangli menjadi Kecamatan Sukorambi.

Bersamaan dengan pembentukan Kota Administratif Jember, Wilayah Kawedanan Jember bergeser pula dari Jember ke Arjasa yang wilayah kerjanya meliputi Arjasa, Pakusari dan Sukowono yang sebelumnya masuk Distrik Kalisat.

Dengan adanya perubahan-perubahan tersebut, pada perkembangan berikutnya maka secara administratif, Kabupaten Jember terbagi menjadi 7 Wilayah Pembantu Bupati, 1 Wilayah Kota Administratif dan 31 Kecamatan, yaitu :

Administratif Jember, meliputi Kec. Kaliwates, Patrang dan Sumbersari ;
- Pembantu Bupati di Arjasa, meliputi Kec. Arjasa, Jelbuk, Pakusari dan Sukowono ;
- Pembantu Bupati di Kalisat, meliputi Kec. Ledokombo, Sumberjambe dan Kalisat ;
- Pembantu Bupati di Mayang, meliputi Kec. Mayang, Silo, Mumbulsari dan Tempurejo ;
- Pembantu Bupati di Rambipuji, meliputi Kec. Rambipuji, Panti, Sukorambi, Ajung dan
Jenggawah ;
- Pembantu Bupati di Balung, meliputi Kec. Ambulu, Wuluhan dan Balung ;
- Pembantu Bupati di Kencong, meliputi Kec. Kencong, jombang, Umbulsari, Gumukmas
dan Puger ;
- Pembantu Bupati di Tanggul, meliputi Kec. Semboro, Tanggul, Bangsalsari dan Sumberbaru.

Namun dengan diberlakukannya Otonomi Daerah sebagaimana tuntutan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka sejak tanggal 1 Januari 2001 Pemerintah Kabupaten Jember juga telah melakukan penataan kelembagaan dan struktur organisasi, termasuk dihapusnya Kota Administratif Jember.

Demikian juga lembaga Pembantu Bupati berubah menjadi Kantor Koordinasi Camat. Namun setelah mengevaluasi selama setahun terhadap implementasi Otoda, Pemkab Jember melalui Perda Nomor 12 Tahun 2001 melikuidasi lembaga Kantor Koordinasi Camat.

Sehingga dalam menjalankan roda pemerintahan di era Otonomi Daerah ini Pemerintah Kabupaten Jember telah berhasil menata struktur organisasi dan kelembagaan hingga tingkat pemdes/kel.

Dengan demikian, maka terhitung mulai tanggal 1 Januari 2001 Kabupaten Jember memasuki paradigma baru dalam sistem pemerintahan yaitu dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi atau Otonomi Daerah, dengan melaksanakan 10 kewenangan wajib otonomi sehingga memberikan keleluasaan penuh untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai keinginan dan aspirasi rakyatnya sesuai peraturan perundangan yang berlaku, dengan misi utama, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Adapun SOTK Perangkat Daerah Pemkab Jember sebagai implementasi PP. Nomor 8 Tahun 2003 meliputi : 5 Badan, 14 Dinas, 3 Kantor, 3 RSUD, sementara Sekretariat Daerah membawahi 9 Bagian.
Sumber Dinas Pariwisata Kab.Jember

SEJARAH KABUPATEN BANYUWANGI

kantor pemkab banyuwangi

Sumber : Museum Daerah "BLAMBANGAN" Banyuwangi

Merujuk data sejarah yang ada, sepanjang sejarah Blambangan kiranya tanggal 18 Desember 1771 merupakan peristiwa sejarah yang paling tua yang patut diangkat sebagai hari jadi Banyuwangi. Sebelum peristiwa puncak perang Puputan Bayu tersebut sebenarnya ada peristiwa lain yang mendahuluinya, yang juga heroik-patriotik, yaitu peristiwa penyerangan para pejuang Blambangan di bawah pimpinan Pangeran Puger ( putra Wong Agung Wilis ) ke benteng VOC di Banyualit pada tahun 1768.

Namun sayang peristiwa tersebut tidak tercatat secara lengkap pertanggalannya, dan selain itu terkesan bahwa dalam penyerangan tersebut kita kalah total, sedang pihak musuh hampir tidak menderita kerugian apapun. Pada peristiwa ini Pangeran Puger gugur, sedang Wong Agung Wilis, setelah Lateng dihancurkan, terluka, tertangkap dan kemudian dibuang ke Pulau Banda ( Lekkerkerker, 1923 ).

Berdasarkan data sejarah nama Banyuwangi tidak dapat terlepas dengan keajayaan Blambangan. Sejak jaman Pangeran Tawang Alun (1655-1691) dan Pangeran Danuningrat (1736-1763), bahkan juga sampai ketika Blambangan berada di bawah perlindungan Bali (1763-1767), VOC belum pernah tertarik untuk memasuki dan mengelola Blambangan ( Ibid.1923 :1045 ).

Pada tahun 1743 Jawa Bagian Timur ( termasuk Blambangan ) diserahkan oleh Pakubuwono II kepada VOC, VOC merasa Blambangan memang sudah menjadi miliknya. Namun untuk sementara masih dibiarkan sebagai barang simpanan, yang baru akan dikelola sewaktu-waktu, kalau sudah diperlukan. Bahkan ketika Danuningrat memina bantuan VOC untuk melepaskan diri dari Bali, VOC masih belum tertarik untuk melihat ke Blambangan (Ibid 1923:1046).

Namun barulah setelah Inggris menjalin hubungan dagang dengan Blambangan dan mendirikan kantor dagangnya (komplek Inggrisan sekarang) pada tahun 1766 di bandar kecil Banyuwangi ( yang pada waktu itu juga disebut Tirtaganda, Tirtaarum atau Toyaarum), maka VOC langsung bergerak untuk segera merebut Banyuwangi dan mengamankan seluruh Blambangan. Secara umum dalam peprangan yang terjadi pada tahun 1767-1772 ( 5 tahun ) itu, VOC memang berusaha untuk merebut seluruh Blambangan. Namun secara khusus sebenarnya VOC terdorong untuk segera merebut Banyuwangi, yang pada waktu itu sudah mulai berkembang menjadi pusat perdagangan di Blambangan, yang telah dikuasai Inggris.

Dengan demikian jelas, bahwa lahirnya sebuah tempat yag kemudian menjadi terkenal dengan nama Banyuwangi, telah menjadi kasus-beli terjadinya peperangan dahsyat, perang Puputan Bayu. Kalau sekiranya Inggris tidak bercokol di Banyuwangi pada tahun 1766, mungkin VOC tidak akan buru-buru melakukan ekspansinya ke Blambangan pada tahun 1767. Dan karena itu mungkin perang Puputan Bayu tidak akan terjadi ( puncaknya ) pada tanggal 18 Desember 1771. Dengan demikian pasti terdapat hubungan yang erat perang Puputan Bayu dengan lahirnya sebuah tempat yang bernama Banyuwangi. Dengan perkataan lain, perang Puputan Bayu merupakan bagian dari proses lahirnya Banyuwangi. Karena itu, penetapan tanggal 18 Desember 1771 sebagai hari jadi Banyuwangi sesungguhnya sangat rasional.

DAFTAR BUPATI BANYUWANGI
R.Oesman Soemodinoto R. Soegito Noto Soegito
Djoko Supaat Slamet
Periode : 1942 - 1947
Periode : 1955 - 1965
Periode : 1966 - 1978
Susilo Suhartono, SH S. Djoko Wasito Harwin Wasisto
Periode : 1978 - 1983 Periode : 1983 - 1988 Periode : 1988 - 1991
H. Turyono Purnomo Sidik Ir. H. Samsul Hadi Ratna Ani Lestari, SE. MM.
Periode : 1991 - 2000 Periode : 2000 - 2005 Periode : 2005 - 2010

WISATA WATU DODOL

Bila Anda hendak ke Bali melalui jalur utara Pulau Jawa, sebelum tiba di Banyuwangi Anda akan melewati Watudodol. Letaknya di pinggir pantai, ditandai dengan patung Gandrung, icon Banyuwangi.
BILA Anda tidak ingin berlama-lama di Banyuwangi, sebaiknya sempatkan mampir ke Watudodol. Banyak hal yang menarik di sini. Selain patung Gandrung dan pantainya yang indah, pulau Bali terlihat dari sini. Anda bisa melihat feri menyeberang dari pelabuhan Ketapang ke Gilimanuk. Mampirlah ke pantainya, di sepanjang jalan terdapat banyak orang berjualan. Anda juga bisa mandi di pantainya, atau berlayar dengan perahu nelayan.

Di salah satu bibir pantai ada keajaiban. Mungkinkah sebuah sumur tawar ada di pinggir pantai? Aneh tapi nyata, di Watudodol, ditemukan sumber air tawar. Rasanya tidak asin ataupun antak. Kalau pasang, air bisa masuk ke dalam sumber air ini, tapi airnya tetap tidak asin. Agar tidak terlalu sering terkena air pasang, warga setempat membuatkan pembatas yang dibuat jadi semacam sumur. Jadi bagi mereka yang ingin mengambil airnya bisa menggunakan timba.
Masyarakat Bali bila menjelang hari suci seperti Waisak, selalu memenuhi tempat ini. Bukan cuma warga Bali, mereka yang datang dari berbagai penjuru tanah air menyempatkan diri datang ke sumur ini untuk mengambil air sumur tawar itu. “Banyak yang percaya, air itu bisa menyembuhkan rematik atau penyakit lainnya,” ujar Siti yang sudah berdagang di sekitar itu selama 5 tahun ini.

Patung Gandrung adalah salah satu tempat yang tidak bisa Anda lupakan ketika Anda ingin berfoto. Fondasi patung yang berada di atas pantai ini sudah selesai tahun 2003 lalu. Tetapi pembuatan patung Gandrung baru selesai sekitar akhir 2004 lalu. “Yang mahat 3 orang, 1 orang Banyuwangi, 1 orang Jawa Tengah, dan 1 orang dari Bali,” lanjut Bu Siti. Proses pengerjaannya memakan waktu 3 bulan. Salah satu pelukisnya bernama Wayan, warga Bali yang tinggal di Banyuwangi.
Bu Siti ternyata juga mengetahui model yang dipakai untuk patung. “Itu mbak Dila, anaknya pak Jaksa. Tapi foto anaknya lebih cantik dari patungnya. Kalau hidungnya sama,” kata Bu Siti, satu-satunya penjual bakso dan rujak yang paling dekat dengan patung Gandrung. “Dulu warung saya persis di bawah patung itu. Karena diambil Pemda, saya pindah ke mari (di pinggir jalan, red),” lanjutnya.

Batu Besar
Jangan dulu buru-buru pulang atau pergi ke Bali, sebelum Anda melihat ada sebuah batu besar yang terletak persis di tengah jalan di Watudodol tak jauh dari patung Gandrung. Batu ini mirip dodol. Rupanya batu yang tinginya kira-kira setinggi tiang listrik merupakan muasal wilayah itu disebut Watudodol. Mungkin karena bentuknya yang seperti dodol.
Batu ini menjadi unik karena memiliki sejarah sendiri dan cerita mistik di dalamnya. Daerah ini pernah dijadikan sebagai tempat pertahanan dan perlidungan tentara Jepang ketika Perang Dunia II. Karena dianggap mengganggu, batu yang berdiameter sekitar 10 pelukan orang dewasa ini oleh tentara Jepang pernah hendak dipindahkan. Namun, walau sudah puluhan orang dikerahkan untuk memotong batu tersebut agar bisa digulingkan, tidak membawa hasil. Lalu Jepang memutuskan memindakan batu itu dengan ditarik kapal. Ternyata sang batu tetap saja tak bergeming. Kabarnya malah kapal yang menarik itu tenggelam.
Selain mengunjungi sumur air tawar, orang Bali khususnya para sopir truk sering berhenti di Watudodol untuk memberikan persembahan di batu ini, seperti kembang, buah-buahan, uang dan sebagainya.

Di samping pesona keindahan dan mistik, Watudodol menyimpan catatan sejarah yang menarik. Watudodol adalah pintu gerbang ke wilayah paling timur pulau Jawa. Bala tentara bisa masuk dari sini menuju ke selatan (Jember) atau ke arah barat (Situbondo).
Tanggal 14 April 1946, Belanda ingin mengadakan percobaan pendararatan di Ketapang, tapi berhasil dihalau oleh tokoh masyarakat Banyuwangi di antaranya Pak Nusahra. Ketika Belanda akan mencoba mendarat di pantai Meneng dan pelabuhan Ketapang, pada 20 Juli 1947, Belanda kembali gagal, karena mendapat perlawanan meriam yang gigih dari pasukan Indonesia di bawah pimpinan Mayor R. Abdul Rifai. Esoknya, Belanda kembali berusaha merebut Watudodol dengan mengerahkan pesawat tempur, tapi kembali terpukul setelah kapal mereka berhasil ditenggelamkan.
Jika Anda lapar atau ngantuk serta bermaksud hendak menginap, di Watudodol Anda bisa mampir di restoran dan hotel di sekitar itu. Tarifnya berkisar antara Rp 100.000 sampai Rp 200.000.

Dari Watudodol, sekitar 2 kilometer Anda sudah sampai di pelabuhan Ketapang. Kalau Anda ada di feri yang menuju ke Gilimanuk, ketika ada sinar matahari, Anda bisa menyaksikan anak-anak dan pemuda yang mata pencahariannya berenang menunggu lemparan uang logam atau kertas. Kemudian mereka berebut untuk mengambilnya. “Yes no, yes no….,” ujar pemuda di sana, yang artinya (karena pengetahuan bahasa Inggirs mereka minim) bukan “ya-tidak, ya-tidak”, melainkan “lemparin duit dong!”

Sumber: SuaraMerdeka

SEJARAH SINGKAT KOTA PROBOLINGGO

BANGER dan PROBOLINGGO

Pada zaman Pemerintahan Prabu Sri Nata Hayam Wuruk raja Majapahit yang ke IV (1350-1389), Probolinggo dikenal dengan nama “ Banger “, nama sungai yang mengalir ditengah daerah Banger ini.


Sejala
n dengan perkembangan Politik kenegaraan/kekuasaan di Zaman Kerajaan Majapahit, pemerintahan di Banger Juga mengalami perubahan-perubahan/perkembangan seirama dengan perkembangan Zaman. Pada saat Minakjinggo, Raja Blambangan berkuasa, banger yang merupakan perbatasan antara Majapahit dan Blambangan dikuasai pula oleh Minakjinggo.


Bahkan Banger menjadi kancah perang saudara antara Blambangan dan Majapahit yang dikenal dengan “ Perang Paregreg “.Adapun Nama Banger ini diberikan karena airnya berbau amis/Banger karena darah Menak Jinggo yang dipenggal kepalanya oleh Raden Damarwulan.


Banger, pada masa Pemerintah VOC tahun 1746 mengangkat Kyai Djoyolelono sebagai Bupati Pertama di Banger, dengan gelar Tumenggung.

Karena Politik adu domba maka pada tahun 1768 Bupati Banger meninggalkan jabatannya dan mengembara /lelono dan sebagai penggantinya adalah Kyai Djoyolelono menurut cerita Kabupatennya di Benteng Lama. Masa Pemerintahan Tumenggung Joyonegoro Daerah Banger amat makmur penduduknya tambah banyak, yang kemudian Beliau mendirikan Masjid Jami’ lebh kurang tahun 1770 kemudian nama Banger oleh Tumenggung Joyonegoro diganti menjadi PROBOLINGGO yang artinya : Probo = Sinar, Linggo=Tugu, badan, tanda, peringatan, tongkat.

Jadi Probolinggo adalah Sinar yang berbentuk tugu, gada, tongkat (mungkin yang dimaksud adalah meteor/bintang jatuh), Setelah wafat Kanjeng Jimat dimakamkan di Pesarean belakang Masjid Jami’ dan karena disenangi masyarakat beliau mendapat sebutan “ Kanjeng djimat

Sumber : http://www.probolinggo.go.id/?pilih=sejarah/sejarah

SEJARAH LUMAJANG

Nama Lumajang berasal dari "LAMAJANG" yang diketahui dari penelusuran sejarah, data prasasti, naskah-naskah kuno, bukti-bukti petilasan dan hasil kajian pada beberapa seminar dalam rangka menetapkan hari jadinya. Beberapa bukti peninggalan yang ada antara lain :

  • Prasasti Mula Malurung
  • Naskah Negara Kertagama
  • Kitab Pararaton
  • Kidung Harsa Wijaya
  • Kitab Pujangga Manik
  • Serat Babat Tanah Jawi
  • Serat Kanda

Karena Prasasti Mula Manurung di nyatakan sebagai prasasti tertua dan pernah menyebut-nyebut "Negara Lamajang" maka dianggap sebagai titik tolak pertimbangan hari jadi Lumajang.


Prasasti Mula Manurung ini ditemukan pada tahun 1975 di Kediri. Prasasti ini ditemukan berangka tahun 1977 Saka, mempunyai 12 lempengan tembaga . Pada lempengan VII halaman a baris 1 - 3 prasasti Mula Manurung menyebutkan " Sira Nararyya Sminingrat, pinralista juru Lamajang pinasangaken jagat palaku, ngkaneng nagara Lamajang " yang artinya : Beliau Nararyya Sminingrat ( Wisnuwardhana ) ditetapkan menjadi juru di Lamajang diangkat menjadi pelindung dunia di Negara Lamajang tahun 1177 Saka pada Prasasti tersebut setelah diadakan penelitian / penghitungan kalender kuno maka ditemukan dalam tahun Jawa pada tanggal 14 Dulkaidah 1165 atau tanggal 15 Desember 1255 M.

Mengingat keberadaan Negara Lamajang sudah cukup meyakinkan bahwa 1255M itu Lamajang sudah merupakan sebuah negara berpenduduk, mempunyai wilayah, mempunyai raja (pemimpin) dan pemerintahan yang teratur, maka ditetapkanlah tanggal 15 Desember 1255 M sebagai hari jadi Lumajang yang dituangkan dalam Keputusan Bupati Kepala Derah Tingkat II Lumajang Nomor 414 Tahun 1990 tanggal 20 Oktober 1990

Nararyya Kirana penguasa Lamajang sejak tahun 1255 M berurutan digantikan oleh penguasa-penguasa selanjutnya sesuai dengan jaman yang merangkumnya. Selanjutnya, pada perjalanan pemerintahan Kabupaten Lumajang berturut-turut dipimpin oleh :
1. KRY KERTODIREJO ( 1928 - 1941 )
2. R. ABU BAKAR ( 1941 - 1948 )
3. R. SASTRODIKORO ( 1948 - 1959 )
4. R. SUKARDJONO ( 1959 - 1966 )
5. N.G. SUBOWO ( 1966 - 1973 )
6. SUWANDI ( 1973 - 1983 )
7. KARSID ( 1983 - 1988 )
8. H.M. SAMSI RIDWAN ( 1988 - 1993 )
9. TARMIN HARIYADI ( 1993 - 1998 )
10. Drs.H. ACHMAD FAUZI ( 1998 - 2003 )
11. Drs.H. ACHMAD FAUZI - H. HARTONO, SH, S.Sos ( 2003 - 2008 )
12. DR.H. SJAHRAZAD MASDAR,MA - Drs. AS'AT ( 2008 - 2013 )

SEJARAH KABUPATEN BOJONEGORO

Masa kehidupan sejarah Indonesia kuno ditandai oleh pengaruh kuat kebudayaan Hindu yang datang dari India sejak abad I yang membedakan warna kehidupan sejarah Indonesia jaman Madya dan jaman Baru. Sedangkan Bojonegoro masih dalam wilayah kekuasaan Majapahit, sampai abad XVI ketika runtuhnya kerajaan Majapahit, kekuasaan pindah ke Demak, Jawa Tengah. Bojonegoro menjadi wilayah kerajaan Demak, sehingga sejarah Bojonegoro kuno yang bercorak Hindu dengan fakta yang berupa penemuan-penemuan banyak benda peninggalan sejarah asal jaman kuno di wilayah hukum Kabupaten Bojonegoro mulai terbentuk. Slogan yang tertanam dalam tradisi masyarakat sejak masa Majapahit "sepi ing pamrih, rame ing gawe" tetap dimiliki sampai sekarang.

Bojonegoro sebagai wilayah kerajaan Demak mempunyai loyalitas tinggi terhadap raja dan kerajaan. Kemudian sehubungan dengan berkembangnya budaya baru yaitu Islam, pengaruh budaya Hindu terdesak dan terjadilah pergeseran nilai dan tata masyarakat dari nilai lama Hindu ke nilai baru Islam tanpa disertai gejolak. Raden Patah, Senopati Jumbun, Adipati Bintoro, diresmikan sebagai raja I awal abad XVI dan sejak itu Bojonegoro menjadi wilayah kedaulatan Demak. Dalam peralihan kekuasaan yang disertai pergolakan membawa Bojonegoro masuk dalam wilayah kerajaan Pajang dengan raja Raden Jaka Tinggkir Adipati Pajang pada tahun 1568. Pangeran Benawa, putra Sultan Pajang, Adiwijaya merasa tidak mampu untuk melawan Senopati yang telah merebut kekuasaan Pajang 1587. Maka Senopati memboyong semua benda pusaka kraton Pajang ke Mataram, sehingga Bojonegoro kembali bergeser menjadi wilayah kerajaan Mataram. Daerah Mataram yang telah diserahkan Sunan Amangkurat kepada VOC berdasarkan perjanjian, adalah pantai utara Pulau Jawa, sehingga merugikan Mataram. Perjanjian tahun 1677 merupakan kekalahan politik berat bagi Mataram terhadap VOC. Oleh karena itu, status kadipaten pun diubah menjadi kabupaten dengan wedana Bupati Mancanegara Wetan, Mas Toemapel yang juga merangkap sebagai Bupati I yang berkedudukan di Jipang pada tanggal 20 Oktober 1677. Maka tanggal, bulan dan tahun tersebut ditetapkan sebagai HARI JADI KABUPATEN BOJONEGORO.

Pada tahun 1725 Susuhunan Pakubuwono II naik tahta. Tahun itu juga Susuhunan memerintahkan agar Raden Tumenggung Haria Mentahun I memindahkan pusat pemerintahan kabupaten Jipang dari Padangan ke Desa Rajekwesi. Lokasi Rajekwesi ± 10 Km di selatan kota Bojonegoro. Sebagai kenangan pada keberhasilan leluhur yang meninggalkan nama harum bagi Bojonegoro, tidak mengherankan kalau nama Rajekwesi tetap dikenang di dalam hati rakyat Bojonegoro sampai sekarang.